Sleman Yogyakarta, lensamedia.net – Seorang mahasiswa di Yogyakarta Obby Kogoya mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka pada peristiwa 15 Juli 2016 lalu. Siang ini sidang memasuki putusan, dan majelis hakim menolak gugatan praperadilan Obby.
Sidang dipimpin oleh hakim tunggal, Bagindo Rajoko Harahap di Pengadilan Negeri (PN) Sleman. Obby didampingi empat kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
“Menolak permohonan praperadilan pemohon untuk keseluruhan,” ujar Bagindo di ruang sidang PN Sleman Jalan Merapi No 1, Rabu (30/8/2016).
Hakim juga mengenakan biaya perkara kepada pihak pemohon atau Obby sebesar nihil.
Dalam pertimbangannya, Bagindo menyatakan alat Obby ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan kepada aparat kepolisian secara sah secara hukum. Pada peristiwa itu, terjadi penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua di belakang asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta. Namun hanya Obby yang ditetapkan tersangka.
Dalam putusan tersebut dinyatakan pula pihak termohon yakni Polda DIY bisa menunjukkan alat bukti yang cukup yang menjadi dasar dijadikannya Obby sebagai tersangka.
Sedangkan tindak kekerasan yang dialami Obby saat penangkapan, kata Bagindo, seharusnya masuk ke perkara hukum lainnya. Tidak berkaitan dengan proses penetapan Obby sebagai tersangka.
Selain itu, Bagindo menyatakan penangkapan Obby merupakan bentuk proses tangkap yang prosedurnya berbeda dengan penangkapan bukan tangkap tangan.
“Tertangkap tangan prosedurnya khusus. Bentuk pemberithuannya berbeda. Tidak seperti prosedur bukan tangkap tangan, misalnya adanya surat tugas,” kata Bagindo.
Menanggapi putusan yakni ditolaknya praperadilan ini, Edo menyatakan pihaknya menerima putusan tersebut. Kasus kekerasan yang dialami Obby juga telah masuk penyelidikan oleh Komnas HAM.
“(Obby) adalah korban pengeroyokan. Kami sudah mengantongi nama-nama yang menyiksa. Penyiksaan sudah masuk ke temuan Komnas HAM. Ini jelas adalah pelanggaran HAM,” tutur Edo.
“Sementara dalil tangkap tangan hanya untuk alat melindungi sikap sewenang-wenang polisi,” imbuhnya.
Sidang kali ini dihadiri puluhan mahasiswa asal Papua dan wartawan. Tampak lokasi persidangan dijaga ketat oleh dua kompi pasukan dari Polres Sleman dan Polda DIY bersenjata lengkap.
Bahkan saat sidang akan dimulai, empat anggota Brimob dengan senjata api laras panjang bersiaga di belakang hakim. Namun pihak kuasa hukum Obby, Emmanuel Gobay kemudian menyatakan keberatan kepada hakim atas kehadiran empat polisi bersenjata tersebut.
Pria yang akrab disapa Edo ini menilai persidangan adalah tempat yang terhormat sehingga seharusnya tidak ada senjata di dalamnya.
Hakim kemudian menyetujuinya, dan meminta empat anggota Brimob untuk keluar dari ruang persidangan.
“Baik, ini siapa komandannya. Lebih baik di luar saja berjaganya. Saya juga tidak tahu ada penjagaan seperti ini, tadi saya mau masuk juga digeledah,” kata Bagindo.
Kapolres Sleman AKBP Yulianto menjelaskan penjagaan ketat dilakukan karena di area PN Sleman terdapat dua sidang yang dinilai menarik perhatian publik. Dua sidang tersebut adalah praperadilan Obby dan sidang Gafatar.
“Yang di belakang hakim untuk prosedur escape. Itu misalnya terjadi kerusuhan di dalam ruang sidang, maka hakim harus diselamatkan,” tutur Yulianto.(aw/dtc)