Yogyakarta, lensamedia.net – Menjamurnya jumlah hotel di Kota Yogyakarta hingga saat ini, membuat wilayah Kotamadya Yogyakarta berpotensi terjadinya defisit ketersediaan air bersih.
Hal itu diungkapkan setelah pada saat Amarta Institute melakukan kajian terhadap ketersediaan air di Kota Yogyakarta. Dari data-data yang dihimpun, hasilnya menunjukkan Kota Pelajar ini mengalami defisit air.
“Kita lihat di Kota (Yogyakarta) dan (Kabupaten) Sleman. Sleman relatif belum defisit. Nah, kalau kota sudah defisit. Semua kecamatan (statusnya) defisit. Lalu ada 5 kecamatan yang paling rawan,” ujar Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie dalam diskusi bertajuk ‘Kemerdekaan dan Air untuk Warga’ di University Club Universitas Gadjah Mada (UC UGM), Sleman, Senin (15/8/2016).
Kajian tersebut dilakukan oleh LSM yang bergerak di bidang pengelolaan air ini selama 3 bulan terakhir. Berbagai data dihimpun mulai dari warga terdampak hingga pemerintahan.
Lima dari total 14 kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta yang berstatus merah atau krisis air di Yogyakarta yakni Gondokusuman, Mergangsan, Mantrijeron, Jetis, dan Umbulharjo.
Tiga kecamatan dengan angka defisit tertinggi mengalami krisis air setelah pembangunan hotel di daerah-daerah itu semakin pesat.
Pembangunan hotel tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan imbuhan atau daerah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah
“Bisa dibilang kritis. Setiap tahun, kecamatan-kecamatan ini mengalami defisit antara 400 ribu-2,7 juta meter kubik air tanah,” imbuhnya.
Untuk menentukan klasifikasi tersebut, Nila menjelaskan, imbuhan dikurangi kebutuhan domestik (penduduk) lalu ditambah kebutuhan hotel.
Di mencatat terdapat 350 hotel berbintang di DIY dengan 15.000 kamar. Ditambah lagi 30 apartemen dengan 12.000 kamar yang sebagian besar belum beroperasi. Hotel dan apartemen ini, kata Nila, berpotensi menambah defisit air.
Di sisi lain, ketergantungan warga Kota Yogyakarta pada air tanah sangat tinggi. Ditambah lagi dengan PDAM kota Yogyakarta yang menggunakan air tanah, bukan air permukaan seperti kota-kota lainnya.
“Di Yogyakarta ini yang saya terkejut, PDAM pakai air tanah. Di Jakarta sama sekali tidak boleh. 100 persen pakai air permukaan,” kata Nila.
Air permukaan misalnya air sungai, memang membutuhkan pengolahan yang membutuhkan biaya besar. Namun menurutnya hal itu lebih aman dan nilai berkelanjutannya lebih besar.
“Pemerintah harusnya investasi ke PDAM. Diperkuat PDAM-nya supaya bisa mengolah air permukaan,” usulnya.
Tak hanya itu, Amrta menilai air tanah di Yogyakarta nilainya jika dilihat dari tarif pajaknya relatif rendah yakni Rp 2.000 per meter kubik. Sedangkan tarif air PDAM untuk bangunan komersil termasuk hotel Rp 16.500 per meter kubik.
“Nilainya rendah sehingga pemakaiannya cenderung berlebihan,” ujar Nila.
Di kesempatan yang sama Geolog dari UPN Veteran Yogyakarta Dr Eko Teguh Paripurno mengungkapkan permukaan air tanah di kawasan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman terus turun 20-3d cm setip tahunnya.
“Ini mengakibatkan warga kesulitan dalam mengakses air tanah,” kata Teguh.
Untuk itu dia meminta semua pihak memperbaiki tata kelola air tanah. Salah satunya adalah menggalakkan pembuatan sumur resapan.
“Semua bisa berperan untuk meningkatkan penambahan imbuhan air ini,” kata Eko. (Agung/dtc)